Beberapa waktu lalu saya membaca artikel yang mengusung topik yang katanya dewasa ini sedang terjadi penjajahan melalui e-marketplace (!). Sebuah artikel yang berani namun didasari oleh premis yang keliru, sehingga mengakibatkan banyak isi artikel tersebut yang menurut saya juga kurang tepat. Oleh karena itu, di sini saya coba menyajikan tulisan yang mudah-mudahan dapat menjadi penyeimbang.
Premis yang keliru tersebut adalah “90% produk di marketplace berisi barang impor”. Pembaca yang mengikuti berita soal e-commerce mungkin juga sempat membaca terkait hal ini. Perlu saya sampaikan bahwa hal ini TIDAK benar, setidaknya di Bukalapak. Hal ini pernah ditegaskan oleh CEO kami mas Zaky beberapa waktu lalu (lihat artikel ini). Sayangnya, isu soal 90% barang impor ini entah mengapa masih terus dipercaya sebagian orang. Apabila di antara pembaca ada yang berkecimpung di bidang media, saya berharap dapat juga ikut meluruskan hal ini.
Ketika kami mendirikan Bukalapak pada tahun 2010, kami memulai dari fakta bahwa banyak pemilik usaha kecil di kampung-kampung di sekitar kami yang belum melek online, padahal hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan kata lain, ide awal pendirian Bukalapak adalah untuk memajukan usaha kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia dengan cara mengenalkan mereka dengan teknologi. Selain itu, kami juga berusaha untuk membekali mereka dengan kemampuan berbisnis dasar termasuk keuangan.
Menumbuhkembangkan barang lokal
Mungkin di antara pembaca ada yang berpikir, “oke mungkin tidak 90%, tetapi 40% produk impor kan masih lumayan banyak?” Banyak hal yang perlu kita tinjau akan hal ini. Pertama, barang yang dijual di Bukalapak sudah berada di Indonesia. Hal ini berarti, produk tersebut memang diimpor sesuai dengan aturan, dan kemudian, boleh jadi barang-barang tersebut sudah lumrah dijual di pasar atau toko offline sebelum kemudian juga dijual di pasar atau toko online. Bukalapak adalah satu channel di antara sekian banyak channel lainnya.
Kedua, meskipun kami tidak melarang barang impor, namun kami berusaha untuk memberikan preferensi terhadap pelapak yang menjual barang lokal, khususnya yang juga sebagai produsen. Sebagai contoh, dalam beberapa kesempatan kami memberikan award kepada mereka. Kami pun sering memberikan highlight atau placement yang istimewa bagi barang-barang lokal supaya kemungkinan dibeli oleh pelanggan semakin meningkat.
Ketiga, kami juga selalu berusaha menyampaikan fenomena barang impor versus barang lokal ini kepada pemerintah dan memberikan usulan-usulan yang terkait supaya dapat ditemukan solusi terbaik akan hal ini. Poin ini juga yang menambah urgensi bahwa isu 90% produk impor di marketplace perlu diluruskan karena data yang salah dapat menyebabkan lahirnya kebijakan yang kurang tepat.
Sebagai contoh, ketika yang terlihat adalah 90% barang impor, maka barangkali secara pareto, fokus regulasi adalah bagaimana mengontrol 90% ini. Namun, apabila ternyata yang benar adalah 40% barang impor, barangkali fokusnya selain mengontrol 40% ini, juga memastikan 60%-nya bisa tumbuh dan berkembang.
Contoh lain, ketika kita melihat fenomena barang impor vs barang lokal, dari sisi pelapak yang terkait barang lokal akan terbagi menjadi produsen barang lokal dan reseller barang lokal. Masing-masing barangkali memerlukan pendekatan yang berbeda. Secara pribadi, saya berpendapat bahwa meskipun kita perlu memberikan apresiasi tertinggi kepada produsen lokal, tetapi barangkali kita juga perlu mendukung reseller barang lokal ini.
Komunitas Bukalapak
Sebagai bentuk komitmen kami untuk memajukan UMKM, kami juga menggunakan pendekatan komunitas ke seluruh Indonesia. Saat ini komunitas Bukalapak menyentuh ratusan kota di seluruh Indonesia. Komunitas ini sangat solid dan saling membantu satu sama lain. Mereka memiliki semangat untuk tumbuh bersama sehingga tidak sungkan untuk berbagi ilmu pengetahuan dengan sesama pelapak.
Salah satu kegiatan terbaru yang dilakukan komunitas Bukalapak adalah ketika mereka bahu membahu membantu korban bencana Lombok yang digagas komunitas Bukalapak Lombok dan juga didukung oleh komunitas Bukalapak dari kota-kota lainnya.
Marketplace menindas?
Kembali ke artikel yang saya singgung di awal, penulis artikel tersebut berargumen bahwa marketplace menindas penjual salah satunya karena dari data transaksi dan perilaku konsumen, marketplace tersebut dapat membuat brand sendiri dan menawari brand yang serupa dengan brand penjual tadi, sehingga penjual tadi akan tersingkir. Sekali lagi saya menyoroti sikap penulis artikel yang dengan mudahnya menggeneralisasi. Mungkin memang ada marketplace yang melakukan hal tersebut, tetapi tidak berarti seluruh marketplace melakukan hal yang sama.
Yang saya pernah pelajari, bahkan beberapa marketplace terbesar di dunia tidak melakukan hal tersebut, setidaknya sampai ketika saya mempelajari mereka. Pada saat ini pun kami tidak terpikir untuk bergerak ke arah sana. Justru yang pernah saya lihat, beberapa brand hypermarket dan minimarket melakukan hal tersebut. Pertanyaan saya, apakah penulis artiket di atas berniat mengarak mereka? :)
Alasan lain yang dikemukakan penulis adalah bahwa marketplace tidak memberikan data kepada penjual, tidak seperti Facebook. Saya mungkin tidak dapat mewakili seluruh marketplace, tetapi dugaan saya secara umum ada dua penyebabnya. Pertama, masalah privasi, yang kita tahu sempat menjadi masalah bagi Facebook sehingga menjadikan hampir seluruh pebisnis digital sangat berhati-hati dalam membagikan data kepada pihak lain. Kedua, masalah kapabilitas. Facebook yang memang bergerak di bidang advertising sejak belasan tahun lalu tentu memiliki keunggulan terkait dengan manajemen data pengiklan yang lebih canggih pada saat ini dibandingkan dengan marketplace. Untuk itu, dalam konteks ini, kurang elok apabila kita memberikan perbandingan secara apple to apple.
Akhirnya, saya berpendapat bahwa tuduhan bahwa marketplace menindas adalah hal yang kurang berdasar. Seorang kolega saya pernah berkata, “Bisnis itu dapat sambil membantu orang atau sumber daya alam, atau menggencet mereka.” Kami berdoa supaya kami selalu termasuk ke dalam yang pertama.
Bukalapak bertujuan memajukan UMKM di Indonesia
Bukalapak adalah sebuah bisnis, bukan kegiatan nirlaba. Namun, kami sangat menyadari bahwa kami tidak akan dapat tumbuh besar tanpa ikut membesarkan pelapak-pelapak kami. Sama seperti pemilik mal atau pusat perbelanjaan lainnya, bagi kami, pengguna itu tidak hanya pembeli, tetapi juga pelapak. Oleh karena itu, kami sangat memperhatikan kebutuhan mereka. Bahkan, kami memiliki departemen besar di dalam perusahaan yang kami beri nama Departemen Pelapak karena memang tujuan utamanya adalah kepuasan pelapak.
Alhamdulillah, selama lebih dari 8 tahun berdiri, ada lebih dari tiga juta pelapak, yang jelas-jelas kebanyakan memang merupakan UMKM, yang sudah bergabung bersama bukalapak. Selain itu, berdasarkan data kami, omzet rata-rata pelapak di Bukalapak terus meningkat setiap tahunnya.
Tentu ini bukan tujuan akhir kami. Masih panjang jalan kami untuk dapat memajukan UMKM di Indonesia yang jumlahnya mencapai puluhan juta. Untuk itu, kami menyadari bahwa kami masih harus berbenah dan terus memperbarui layanan kami. Apabila ada langkah-langkah kami yang dirasakan salah atau menyakiti pihak tertentu, kami sangat terbuka akan masukan maupun saran yang membangun.
Akhirnya, kepada penulis artikel yang saya singgung, saya hanya dapat berpesan, alangkah indahnya apabila kita membiasakan diri untuk tabayyun sebelum mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Kita tidak mengetahui berapa banyak orang yang termakan artikel tersebut. Saya pikir kita memiliki tujuan akhir yang sama, yakni untuk bersama-sama membangun bangsa. Barangkali sudah waktunya kita ngopi bareng, sambil mengenang momen-momen nginep bareng di Tubagus Ismail saat kuliah dulu.
Penulis : Fajrin Rasyid
di post tanggal : 21 Agustus 2018
link : https://medium.com/@fajrinrasyid/e-marketplace-di-antara-umkm-dan-isu-barang-impor-a213f9bc98af
Tidak ada komentar:
Posting Komentar